Sabtu, 23 Agustus 2014

Sharing: Pengalaman Saat Mempelajari Akupunktur di China

Saat saya mengajar di Kursus Sinshe Candranaya, saya bertemu dengan seorang siswa yang cukup "unik". Ia selalu mengeluh akan ini dan itu, akan manajemen kursus yang (diklaimnya) payah, akan materi pelajaran yang sulit, dan bahkan akan cara mengajar saya. Ia bahkan berkata, kalau begini terus, lebih baik ia menyerah saja dan tidak lanjut kursus lagi. Lalu pada akhirnya ia memang benar-benar mengundurkan diri. Bagaimanapun, perkataannya membuat saya merasa "tergerak" untuk membagikan sedikit "pengalaman pahit" yang saya alami saat belajar di china - pengalaman yang biarpun pahit, namun justru inilah yang membuat saya bisa menjadi seperti sekarang ini.

Saya mempunyai sepasang mata yang "berbeda" dengan teman-teman sekalian. Ia bisa melihat, bisa mengenali tanpa kacamata figur-figur yang "besar". Tetapi lain halnya untuk membaca. Bahkan kacamata tebal pun tidak mampu menolong saya untuk bisa membaca dengan jarak 30 cm. Untuk melihat tulisan di papan tulis, saya harus menggunakan alat bantu seperti teropong agar bisa melihatnya. Keadaan saya waktu mahasiswa malah jauh lebih parah dari sekarang, karena baik dokter maupun pakar TCM menyerah dalam mengobati saya.

Masalah dimulai saat saya magang di Bagian Akupunktur di tahun ketiga. Saya bertemu seorang guru yang, di akhir sesi magang saya, mengatakan, "Saya sarankan kamu jangan mempelajari akupunktur. Keadaan mata kamu tidak memungkinkan."

Perkataannya itu benar-benar merupakan pukulan telak bagi saya. Dan karena ia adalah seorang ahli akupunktur yang mestinya berpengalaman dalam bidangnya, itu menjadi lebih parah. Saya benar-benar down. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk tidak mempelajari akupunktur. Ya, saya benar-benar menyerah! Saya bahkan sangat membenci pelajaran itu! Tapi karena pada tahun kelima saya tetap harus mengikuti magang di Bagian Akupunktur, magang itu menjadi momok bagi saya. Ditambah lagi, saya melihat kenyataan di mana beberapa teman saya diizinkan untuk menusuk pasien sementara saya selalu mendapat dosen yang tidak pernah memberikan saya kesempatan itu. Mau tidak mau kata-kata itupun terlintas, "Semua dosen akupunktur merendahkan saya hanya karena mata saya." Manalagi saya selalu bertemu dengan pasien-pasien yang kurang bermartabat. Saat melihat saya mencabut jarum pasien, famili si pasien langsung menukas, "Kenapa kamu masih tidak tahu diri masih bisa praktek disini padahal mata kamu seperti itu?! Cepat sana cari pekerjaan lain!" Dan masih banyak perkataan-perkataan kejam lainnya. Makanya, yang saya kerjakan saat magang hanyalah berdiam diri, murung, lalu keluar dari ruang praktek, bahkan acapkali menangis. Bahkan ada satu hari di mana saya tidak masuk praktek, saya hanya berbaring di atas tempat tidur, tubuh saya lemas sekali, tidak ada tenaga untuk membangkitkannya. Saya depresi.

Dan rasa-rasanya, setiap kita dihantam sebuah cobaan, kesulitan-kesulitan lain akan ikut beramai-ramai datang menyiksa. Saya menemukan beberapa teman yang dulunya baik dengan saya, malah tiba-tiba berbalik "menyerang" saya. Salah seorang teman Thailand saya menyarankan agar saya tidak mendalami akupunktur karena keterbatasan saya. Pada sebuah tugas presentasi, semua teman setuju menunjuk saya sebagai wakil kelompok yang tampil di depan membawakan presentasi - kecuali seseorang yang merupakan murid tertua di kelas kami. Alasannya, "karena mata kamu pasti akan melihat dekat-dekat untuk membaca sehingga tidak akan enak dilihat, dan nanti diklaim oleh dosen."

Semua itu membuat saya bertanya pada Tuhan, apa sebetulnya alasanNya memberikan mata seperti ini? Bahkan saya sempat mengatakan bahwa Tuhan tidak adil terhadap saya. Dan ternyata, jawabannya datang dalam sebuah sesi tak terduga.

Saat itu kelompok kami akan ditugaskan untuk magang di Bagian Akupunktur (lagi! Saya meringis) di rumah sakit lain. Ketakutan pun menghantui saya. Detik demi detik, menit demi menit saya lakukan untuk berdoa. Saya bahkan mengikuti rombongan saya dengan pandangan kosong karena fokus saya saat itu hanya untuk memohon pada Tuhan, agar Ia memberikan saya "Keajaiban Nya". Lalu mereka membawa kami ke salah satu ruang praktek paling luas di rumah sakit ini, yang ditangani oleh seorang dokter pria senior. Ia memiliki banyak sekali pasien dan murid. Saya mengikuti segala instruksinya dengan lesu, walaupun saya akui dokter ini berbeda dengan dokter akupunktur lain yang saya temui - ia kelihatan ramah dan sabar. Ia menerangkan semua kondisi pasiennya selengkap mungkin, dan keesokan harinya, secara tiba-tiba ia menunjuk saya dan menyodorkan segenggam jarum, berkata, "Coba kamu akupunktur daerah Jian San Zhen dan Feng Long."

Bukan main kagetnya saya. Pikiran saya berseru panik, Ya Tuhan, kita akan menusuk pasien, kita tidak mungkin bisa! Tapi suatu sentakan harga diri membungkam jeritan rendah diri saya. Saya pun memberanikan diri untuk mengambil jarum-jarum tersebut, dan dengan tangan bergetar, saya menusuk pasien itu!

Saya baru saja berteriak kegirangan dalam hati, ketika toba-tiba sang dokter berbalik dan berkata, "Titik yang kamu tusuk itu salah!"

Lemaslah saya. Baru saja saya bersyukur akan keberhasilan saya, tapi ternyata saya gagal! Belum lagi pada kesempatan-kesempatan selanjutnya, saya selalu salah dalam pemilihan titik akupunktur. Dan Sabtu itu, guru saya tidak memberikan saya kesempatan sama sekali untuk praktek!

Bukan main hancurnya saya. Kepercayaan diri yang mulai terbangun itupun runtuh seketika. Depresi kembali menyerang saya. Pikiran-pikiran kacau kembali memenuhi benak saya. Saya sudah nyaris untuk menyerah lagi, tetapi hari Minggu keesokan harinya, saya kembali "disadarkan". Sebuah pikiran menyentak ketika saya menaiki tangga di rumah sakit, "Tuhan tidak mungkin memberikan aku cobaan tanpa alasan. Di kemudian hari entah kapan, aku pasti akan mensyukuri segala pencobaan yang menghadangku. Aku akan bisa berbalik menggunakannya menjadi sesuatu yang baik." Karena itulah, saya tetap memasuki ruang praktek No. 18. Saya bahkan tidak mau kalah dengan mahasiswa China. Mereka rajin dan ulet, saya berusaha lebih rajin dan ulet daripada mereka. Mereka berusaha mengelilingi dosen dan ringan tangan dalam membantunya, saya - berlawanan dengan mereka - mengeluarkan sebuah notes dan mencatat segala keadaan pasien, titik-titik, dan apapun yang saya dapatkan dari pengamatan saya. Sampai-sampai salah seorang mahasiswa S2 berkata, "Rajin sekali kamu, mencatat apa yang tidak kami catat." Saya bahkan masuk dalam rombongan yang datang paling awal, serta beristirahat dan pulang paling terakhir. Saat itu bulan Desember dan musim dingin, suhu pada malam hari betul-betul menyiksa dan membekukan, belum lagi ditambah tiupan anginnya. Tapi ternyata obsesi mengalahkan segalanya. Tidak peduli seberapa keras saya harus berusaha, saya akan mencoba sampai saya berhasil.

Mungkin tergerak dengan usaha saya, dosen saya pun akhirnya kembali memberikan kepercayaan kepada saya untuk menusuk pasien. Dan kali ini, tidak ada kritikan yang terlontar darinya. Ia bahkan mengetahui keadaan mata saya, dan ia menyemangati saya bahwa saya bisa sembuh, serta mengajarkan titik-titik akupunktur untuk mengobati mata saya sendiri. Terima kasih banyak, dr. Zhang Boru!

Tapi dosen pembimbing saya selanjutnya lah yang benar-benar memantapkan jalan saya menjadi akupunkturis.

Dr. Yu Cengji juga merupakan salah satu dokter senior di First Affiliation Hospotal of Tianjin Univ. TCM, walaupun pasien yang ditanganinya tidaklah sebanyak Dr. Zhang Boru. Di hari pertama saya magang di tempatnya, ia benar-benar ramah terhadap saya. Ia menerangkan pelajaran jauh lebih lengkap daripada dr. Zhang. Walaupun di hari selanjutnya ia pernah berkata, "Mengapa kamu belajar akupunktur? Kondisi kamu itu akan menyulitkan kamu, loh." Perasaan inferior kembali menguasai diri saya, saya sempat merasa dilecehkan - namun hanya untuk beberapa saat. Sesi internship saya dengan dr. Zhang ternyata memberikan saya kepercayadirian yang cukup besar. Saya tetap melakukan internship sama tekunnya dengan sesi dr. Zhang, dan suatu hari, dr. Yu mengatakan, "Bahkan murid-murid China saya pun tidak setekun kamu." Bahkan, pasien lain ikut berkomentar, "Saya tidak pernah melihat dr. Yu memperhatikan muridnya yang lain seperti ia memperhatikan kamu. Berarti kamu merupakan murid yang istimewa menurut anggapannya."

Setelah itu, dr. Yu menjadi mentor pembimbing akupunktur saya selama tiga bulan penuh ke depan, sampai akhirnya saya lulus dan kembali ke Indonesia.

Saya betul-betul berterima kasih kepada kedua dosen pembimbing saya ini. Karena mereka lah saya mempunyai kepercayaan diri untuk menekuni akupunktur. Mereka juga membantu saya dalam menterapi mata saya, sehingga kini saya bisa mendapat kemajuan untuk perkembangan mata saya. Dan pula, saya berterimakasih pada dosen pembimbing tahun ketiga saya. Ia memang bersikap pesimis, namun ternyata saya adalah orang yang baru bisa maju setelah dihadapkan pada kegagalan. Ia membuat saya mengerti akan kerasnya kehidupan, bahwa segala sesuatu tidak bisa diperoleh dengan mudah. Karena kesedihan itu ada, maka terciptalah kebahagiaan. Karena kegagalan itu eksis, maka muncullah kesuksesan. Sekarang, akhirnya saya mampu menjadi akupunkturis yang berkompeten, bahkan di beberapa sesi saya dipercaya untuk membawakan pengajaran akupunktur. Saya berhasil menepis kata-kata pesimistik yang dilontarkan pada saya. Karena saya tidak memilih untuk menyerah, dan terus berjuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar